The Beauty Of Mecca, The Center Of Earth

Mekkah, kota ini memang hanya memiliki luas sekitar 720 km persegi yang terletak di region Hejaz, Saudi Arabia. Namun, Milyaran penduduk muslim dunia tak pernah putus bertandang ke kota ini setiap harinya. Mekkah, yang merupakan kota tersuci bagi umat Islam ini pun dipercaya sebagai poros sumbu dunia. Beruntung beberapa waktu yang lalu saya akhirnya memiliki kesempatan untuk mengunjungi kota ini.

Perjalanan dari Madinah ke Mekkah ditempuh sekitar 8 jam via darat. Saya dan rombongan menggunakan moda transportasi bus. Sebelum meninggalkan kota Madinah, Pak Ustadz selaku kepala rombongan pun mengatakan bahwa perjalanan ke kota Mekkah hanya akan dihiasi oleh gurun pasir dan mengingat kami berangkat di saat hari sudah menjelang sore beliau pun menyarankan agar semua rombongan beristirahat saja, mengingat setibanya di Tanah Haram kami akan segera melakukan ibadah Umroh di Masjidil Haram.

Selang satu jam bus berjalan, hampir seluruh rombongan terlelap termasuk saya. Namun beruntung saya terbangun di saat yang tepat, saat sang surya mulai berpamitan untuk menerangi belahan bumi lainnya. Bagi saya pemandangan kala matahari terbenam merupakan salah satu pemandangan terindah di muka bumi. Jika berpergian kesatu tempat, saya pun kerap menyisihkan waktu untuk menikmati pertunjukkan alam yang satu ini. Namun menyaksikan matahari terbenam di antara gurun pasir sembari duduk di atas bus yang melaju cukup kencang tentunya menjadi pengalaman pertama bagi saya.

Senja Di Gurun Pasir
Pijaran bola api yang perlahan merangkak turun dari langit dikelilingi oleh gundukan gunung pasir, pancaran warna jingga yang membuat langit nampak membiru dengan semburat merah muda indah di sekitarnya. Di ujung ufuk, pelangi pun turut turun melengkapi keindahan yang ada. Awan-awan saling berlomba menghiasi cakrawala dengan berbagai bentuknya. Rasanya pengalaman menikamati matahari terbenam di tengah gurun pasir ini menjadi kenangan yang tidak akan saya lupakan.

Dalam perjalanan bus sempat berhenti satu kali di tempat istirahat, semula kami berniat untuk melaksanakan ibadah sholat magrib, namun melihat kondisi lokasi yang kurang mendukung akhirnya niat tersebut kami urungkan. Pak Ustadz mengajak kami untuk sekalian saja menggabungkan sholat magrib dengan isya saat tiba di Mekkah. Di bagian perempuan, kondisi kamar mandi dan tempat mengambil air wudhu sangat sesak karena keduanya digabung menjadi satu. Kembali peristiwa berdesak-desakan dan saling teriak pun saya temukan di sini. Padahal jika mau tertib dan sabar rasanya tidak perlu buang-buang tenaga untuk berebutan menggunakan kamar mandi dan juga tempat berwudhu. Perjalanan dari lokasi istirahat menuju Mekkah ternyata masih lumayan jauh. Menghabiskan waktu sekitar 4 jam lagi akhirnya saya dan rombongan pun tiba di Mekkah. Tanah haram yang menjadi impian umat islam untuk dikunjungi.

Kehidupan 24 Jam Di Kota Berbatu
Kota ini jauh berbeda dengan Madinah yang tampak tenang di setiap waktu. Benar juga kata Pak Ustadz bahwa gunung batu memang mendominasi pemandangan kota Mekkah. A rocky city I may called this city. Jika Madinah sudah mulai terlelap menjelang tengah malam, berbeda dengan Mekkah. Rasanya kehidupan di kota ini berlangsung selama 24 jam sehari 7 hari seminggu tanpa henti, khususnya kegiatan para peziarah dan bidang perniagaan. Saya dan rombongan sampai di hotel sekitar pukul 10 malam dan seluruh pertokoan disekitarnya masih buka tanpa terkecuali. Mulai dari kedai makanan, toko oleh-oleh, toko pakaian, kedai kopi, bahkan mini market. Gemerlap dan ramainya suasana kota ini pun sekejap mengingatkan saya pada kota Jakarta yang juga tidak pernah tidur.

Penduduk Kota Mekkah Dan Jamaah Menuju Masjidil Haram
Disaat langit sudah terang keesokan harinya dari kejauhan terlihat belasan menara raksasa yang sedang dibangun, katanya itu adalah bangunan hotel mewah dengan menara kembar sebelas. Tampak juga pembangunan jalan penghubung dari menara tersebut ke gedung di seberangnya yang merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kota Mekkah. Diperkirakan sekitar tiga tahun lagi kesebelas menara hotel mewah tersebut akan siap untuk melayani para tamu dan jamaah yang berkunjung ke kota Mekkah. Sementara itu, di sisi kanan tidak jauh dari hotel terparkir berbagai peralatan dan kendaraan berat untuk meratakan gunung batu. Mereka sepertinya sedang membangun jalan akses menuju bagian di balik gunung. Kata Pak Ustadz mungkin beberapa belas tahun ke depan gunung batu tersebut juga akan rata dengan tanah, entah dijadikan hotel atau mungkin pemukiman penduduk. Katanya lagi, salah satu gunung batu terbesar yang ada di sekitar Masjidil Haram malahan sudah hilang bertahun-tahun yang lalu.

Selain Masjidil Haram dan Ka'bah ada satu bangunan yang sejak masih berupa rencana sudah digadang-gadang sebagai salah satu ikon lambang kota yang juga di kenal dengan sebutan Ummu Al-Qura ini. Bangunan tersebut adalah Abraj Al Bait atau lebih dikenal dengan nama Zam-Zam Tower. Merupakan bangunan yang dibangun di atas tanah bekas gedung Ajyad Fortress yang dirubuhkan pada tahun 2002 oleh pemerintah Arab Saudi. Gedung tersebut juga digadang-gadang sebagai gedung yang menghabiskan biaya pembangunan termahal sebesar 15 Milyar Dollar Amerika, bangunan ini juga merupakan bangunan tertinggi keempat di dunia dengan tinggi 601 meter.

Bangunan megah ini terdiri dari pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, dan juga hotel-hotel bintang lima. Lokasinya benar-benar dekat dengan Masjidil Haram, jika Anda kebetulan menginap di salah satu hotel di dalam Zam-Zam Tower maka jarak antara tempat Anda menginap dengan hotel benar-benar hanya beberapa kali koprol dari lantai dasar tower.

Disekitar lingkungan Masjid tidak jauh dari pintu juga terdapat banyak pusat perniagaan yang kebanyakan adalah kedai makanan dan minuman. Hal yang menarik dari Mekkah adalah tidak peduli semahal apapun hotel tersebut bangunan di bagian bawahnya pasti terdapat kedai-kedai makanan dengan harga yang sangat terjangkau.

Terpana Pada Megahnya Ka'bah
Di Mekkah saya tinggal di hotel yang berjarak sekitar 15 - 20 menit berjalan kaki dari Masjidil Haram. Lokasi ini sudah merupakan lokasi yang cukup baik, mengingat seluruh hotel yang berada sangat dekat dengan Masjidil Haram merupakan hotel berbintang 5 dengan tarif yang pastinya sangat mahal. Kembali lagi hukum ekonomi pastinya berlaku di mana-mana. Kali ini saya menempati satu kamar hanya berdua dengan adik perempuan saya, sementara kedua orangtua saya menempati kamar di sebelah kamar kami. Bentuk kamar tidak jauh berbeda dengan penginapan kami di Madinah, hanya lebih kecil karena hanya memuat dua orang tamu perkamarnya.

Suasana Ka'bah Di Malam Hari
Setelah selesai bersih-bersih saya dan rombongan kembali berkumpul di lobi untuk segera menunaikan ibadah umroh. Saat itu sekitar pukul 11 malam, satu jam menjelang tengah malam. Sempat saya kira bahwa jumlah jamaah yang beribadah di jam ini mungkin lebih sedikit. Namun ternyata perkiraan tersebut salah. Sebelum berangkat kami pun dibekali berbagai nasihat oleh Pak Ustadz untuk selalu sabar dan ikhlas dalam menjalani ibadah ini. Tiba di hadapan masjid saya terhenyak dengan kemegahan dan keindahan Masjidil Haram. Puji syukur kepada Allah SWT saya pun saya panjatkan.
Energi yang saya rasakan di dalam bangunan masjid terbesar di dunia ini sangat lah kuat. Terlebih lagi energi yang dihasilkan di sekeliling Kabah. Bangunan tersuci milik umat muslim di dunia ini. Bangunan berlapis kain beludru yang mengeluarkan aroma harum ini sontak membuat saya terpana dan terharu. Setiba di dalam masjid saya dan rombongan melakukan ibadah umroh yaitu Tawaf mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali, yang dilanjutkan dengan sai dari Bukit Safa ke Bukit Marwah juga sebanyak 7 kali bolak balik, dan ditutup dengan tahalul potong rambut. Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar. Bagi saya pribadi di antara seluruh kegiatan umroh tersebut, sai adalah yang terberat padahal fasilitas yang disediakan untuk sai sudah berupa bangunan tertutup full pendingin ruangan dengan lantai marmer. Terbayang bagaiamana rasanya dahulu saat fasilitas belum sebaik ini, ibadah yang dilakukan pasti jauh lebih berat.

Jamaah Bersiap-siap Menunggu Waktu Sholat
Rasanya tidak ada waktu dimana kita bisa melihat Masjidil Haram dalam kondisi sepi, mengingat setiap waktu jamah terus-menerus datang untuk melakukan ibadah di sana. Jelang waktu sholat jika ingin melakukan ibadah di bagian dalam masjid, saran saya datanglah sekitar dua jam sebelum Adzan dikumandangkan. Karena satu jam menjelang adzan biasanya pintu masuk ke dalam sudah mulai di tutup karena padatnya jumlah jamaah di bagian dalam. Belum lagi jalanan terdekat meunju masjid juga biasanya sudah ditutup aksesnya mendekati waktu sholat, sehingga jamaah harus berputar sedikit lebih jauh untuk mencapai masjid.

Jika bukan termasuk orang yang nyaman melakukan ibadah tanpa alas apapun, jangan lupa untuk membawa sajadah. Mengingat banyak bagian di dalam yang diperuntukkan untuk sholat namun tidak memiliki alas, terutama di bagian tempat orang melakukan ibadah Sai. Hanya berupa lantai marmer yang dengan rapih dipasang mengarah langsung ke Ka'bah.

Berbeda dari Masjid Nabawi yang memiliki banyak akses gerbang masuk, Masjidil Haram hanya memiliki beberapa akses gerbang masuk, dan biasanya jamaah akan langsung masuk ke dalam masjid melalui pintu terdekat dari gerbang utama. Mengakalinya saya masuk dari pintu sebelah kiri dari arah masjid dana masuk dari sisi kiri masjid. Entah mengapa pintu masuk dari sisi tersebut cenderung lebih sepi menurut saya.

Sama seperti di Masjid Nabawi, di Masjidil Haram juga disediakan bertangki-tangki air zam-zam. Malah bukan hanya berupa tangki besar namun juga berupa pancuran keran air dengan jumlah yang cukup banyak. Namun jangan keliru, jika di tembok pancuran hanya bertuliskan drinking water maka itu bukan air Zam-Zam tetapi air mineral biasa. Maklum banyak juga penduduk yang menggantungkan kebutuhan airnya hariannya kepada masjid. Banyak yang datang membawa galon-galon ukuran kecil dan sedang untuk mengambil air di sana. Jika ingin pasti air zam-zam sebaiknya minum dari tangki besar yang selalu diletakkan di bagian dalam masjid dekat tempat melakukan sholat.


Menanti Pagi Ala Mekkah
Kegiatan di Mekkah tidak berbeda jauh dengan saat berada di Madinah, sekitar pukul 4 semua orang sudah mulai bergerak menuju masjid untuk menunaikan ibadah sholat subuh. Jika di Madinah selesai subuh biasanya saya mencari segelas kopi hangat di gerai kopi pojok Masjid Nabawi kali ini saya duduk-duduk di tangga depan kedai makanan sembari menikmati segelas kopi atau teh susu hangat dan beberapa potong makanan ringan dari kedai setempat. Sesekali saya memilih untuk menikmati es krim atau minuman ringan bersoda. Menu yang sedikit random tetapi menyenangkan.

Awalnya saya sempat bingung saat melihat bahwa orang-orang di sini senang sekali ngampar dan makan bersama di mana pun mereka berada. Satu saat papa akhirnya penasaran untuk mencoba menikmati makan ala warga setempat. Seems like what people said that If you wanna be local, do what local do is right. Breakfast was SUPER FUN!! Ternyata seru juga, tidak hanya bisa menghabiskan waktu lebih bersama keluarga saya juga bisa melihat berbagai macam kegiatan pagi hari yang berlangsung di kawasan sekitar masjid. Salah satunya para pedagang kaki lima yang berjualan sambil kejar-kejaran dengan keamanan setempat.

Mayoritas pedagang kaki lima di kota Mekkah bukanlah penduduk setempat. Melainkan orang-orang yang sepertinya berasal dari Afrika. Merka berjualan dengan membawa satu buntalan besar yang berguna sebagai kantung barang dagangan sekaligus alas untuk mereka berdagang. Entah bagaimana tetapi mereka seperti sudah hafal tanda-tanda jika ada petugas keamanan mendekat. Dalam hitungan detik semua pedagang kaki lima hiilang seketika berikut barang dagangannya. Saat saya berada di sana trend "om telotet om" tengan melanda dunia, dan kota ini pun tidak lepas dari trend tersebut. Beberapa padagang kaki lima terdengar menawarkan dagangannya sembari berujar "Telolet Om Telolet, Hamsah Riyal...Hamsah Riyal". Saya pun tergelak mendengarnya.
 
Belanja Di Tanah Suci
Bohong jika saya bilang tidak berbelanja apa pun saat berada di Mekkah. Sesekali selesai dari masjid saya juga menyempatkan diri untuk melihat toko-toko yang ada. Barang-barang yang dijual di sini kurang lebih sama dengan yag dijual di kota Madinah, namun di sini Anda sebaiknya jangan menawar terlalu jauh dari harga yang mereka tawarkan. Para pedagang di sini lebih "galak" dalam hal menawarkan. Jika memang hanya ingin sekadar melihat-lihat sebaiknya saat masuk ke dalam toko katakan dulu bahwa hanya ingin melihat-lihat dulu dan belum tentu membeli. Di sini juga ada toko serba 2 Riyal, namun hati-hati beberapa barang tidak benar-benar seharga 2 Riyal. Sebaiknya tanyakan lagi harga barang yang ingin dibeli.
Belantara Beton Di Sekitar Masjidil Haram
 
Berlokasi cukup jauh dari Benua Asia ternyata tidak membuat kota ini terhindar dari barang-barang buatan Cina. Jangan kaget saat hijab atau selendang yang sedang dilihat tertulis jelas MADE IN PRC, atau baju koko bahkan kosmetik bermerk Arab namun saat dibaca di bagian label tercetak MADE IN CHINA. Buatan Cina bukan berarti jelek, justru harganya malah lebih ekonomis, tapi masalah kualitas ya bisa ditakar sendiri lah.

Barang-barang yang dijajakan di gerai-gerai sepanjang jalan sudah barang tentu bukan barang bermerk. Salah seorang teman saya berkata bahwa ada beberapa barang yang memang lebih murah di beli di Mekkah. Jika memang berminat mencari, silahkan masuk dan berkeliling di dalam Zam-Zam Tower. Bagi perempuan lebih baik jangan berbelanja sendiri, selain karena seluruh pramuniaga setempat adalah kaum adam, belum lagi ada beberapa toko yang menerapkan peraturan bahwa hanya bisa masuk ke dalam toko jika bersama keluarga. Bagi para penggemar kopi Amerika alias Starbucks seperti saya gerai Starbucks di Mekkah berada di dalam Zam-Zam Tower lantai 2. Berbeda dengan gerai Madinah yang antrian dijadikan satu, gerai Mekkah membuah dua antrian yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki. Hal yang menyenangkan adalah antrian perempuan lebih diprioritaskan di sini.
 
Uji Kesabaran Di Tanah Haram
Berbeda dengan Madinah yang walaupun banyak dikunjungi oleh orang dari berbagai negara namun dominasi penduduk asli masih kental terasa di sana. Berbeda dengan Mekkah yang terasa lebih beragam. Bagi saya Mekkah memiliki rasa Jakarta, dengan berbagai keberagaman suku bangsa dan juga bahasanya. Banyak orang dari berbagai penjuru dunia yang datang mengadu nasib ke kota ini. Mencoba mencari rezeki halal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di sini juga saya menemukan pembelajaran bahwa mungkin benar yang dibilang bahwa kesabaran itu memang seharusnya tidak ada batasnya. Entah karena udara kota yang terbilang selalu panas atau bagaiaman tetapi tingkat kesabaran seseorang di sini bisa sangat teruji. Jangan heran jika sedang mengantri rapat untuk keluar dari gerbang majid tiba-tiba ada orang yang seenaknya berehenti untuk mengakat telfon dan mengobrol tanpa mempedulikan antrian di belakangnya. Atau jika tiba-tiba ada yang "menyeruduk" padahal jelas-jelas mereka yang salah jalur.

Kursi roda nampaknya menjadi salah satu alat transportasi utama di sini, tapi sayangnya tidak semua pengguna dan pendorong kursi roda peduli terhadap orang lain. Walaupun prioritas namun bagi saya bukan berarti bisa seenaknya melindas kaki orang lain. Dan kasus terlindas roda kursi roda bukan hanya sekali dua kali saya temukan. Sabar, karena belum tentu juga yang melindas tersebut akan meminta maaf, bisa jadi malah dia yang marah karena merasa terhalangi jalannya. Saya pun tidak heran karena jauh-jauh hari sudah banyak yang menasehati saya supaya banyak bersabar jika berada di kota ini.

Pergi Untuk Kembali
Perjalanan saya di kota Mekkah memang hanya berlangsung selama 5 hari saja, namun kota ini meninggalkan bekas yang cukup dalam bagi saya. Banyak pelajaran hidup yang saya bisa petik di kota ini. Toleransi dan kesabaran adalah dua hal di antaranya.

My Lovely Parents
Saya pun pergi dari kota ini namun berjanji untuk kembali. Semoga doa ini bisa terkabul dan saya bercita-cita untuk kembali dengan seluruh anggota keluarga. Semoga kami semua diberikan umur panjang dan juga kenikmatan untuk sama-sama belajar di kota Mekkah ini. Amin.











Baca Juga:


A Dusty City, Called Medina


Dusty city, ya....kota yang penuh debu itu adalah kalimat pertama yang melintas dalam pikiran saya sesaat setelah pesawat Saudia Airlines yang membawa saya dan rombongan mendarat dengan sempurna di landasan pacu International Airport Prince Mohammad bin Abdulaziz, Medina atau lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan nama Madinah. Salah satu kota tersuci bagi umat muslim di seluruh belahan dunia. Kota yang menjadi tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah. Satu kota yang penduduknya disebut-sebut sebagai kaum penolong sejak dahulu kala.

Walaupun saat itu langit masih cukup terang, namun saat melemparkan pandangan mata ke luar jendela, atmosfer debu dan juga nuansa gersang sangat mendominasi. Alhasil langit pun menjadi terlihat cukup mendung kala itu. Sebagai orang yang baru pertama kali menapakkan kaki di Jazirah Arab saya sangat bersemangat dengan perjalanan ini. Saya sungguh penasaran untuk bisa melihat langsung kondisi gersang dan berdebunya kota ini.

Urusan imigrasi, bagasi, dan tunggu-menunggu jamaah lainnya ternyata membuat saya gagal untuk melihat secara langsung kota ini dalam kondisi langit yang masih terang. Harus bersabar menunggu hingga pagi nampaknya....hehehe. Melangkahkan kaki ke luar bandara, kegelapan sudah menghiasi langit yang dihias apik dengan kehadiran bulan purnama berukuran cukup besar. Sambutan yang sangat indah bagi saya. Pemandangan yang juga membuat saya berpikir bahwa kota ini tampak berada sangat dekat dengan langit. Seketika saya pun dibuat jatuh hati dengan Madinah.

Madinah Dengan Latar Gunung Batu
Dalam perjalanan menuju hotel, Pak Ustadz yang menjadi pembimbing saya dan rombongan dalam menjalankan ibadah umroh kali ini pun bercerita bahwa kota yang menjadi tempat tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW ini memang dikenal dengan kota yang penuh debu. "Nanti di Mekkah akan terasa bahwa gunung batu yang mendominasi pemandangan kota, tetapi di sini walaupun ada gunung batu tetapi debu lebih mendominasi kota Madinah ini," tuturnya. Penjelasan yang membuat saya pun tak heran dengan kesan dusty yang saya dapatkan sesaat setelah sampai di sini.

Malam Pertama Di Nabawi
Menghabiskan waktu sekitar setengah jam perjalanan, saya dan rombongan akhirnya sampai di hotel tempat kami beristirahat selama berada di kota Madinah ini. Saya menempati satu kamar ukuran sedang yang memuat 4 buah tempat tidur. Satu kamar tersebit diisi oleh saya, mama, papa, dan adik perempuan saya.
Saya memang tidak sempat mengukur berapa suhu udara Madinah malam itu, yang pasti udara dingin sontak menyentuh permukaan kulit saya sejak keluar dari bandara. Nampaknya memang benar apa yang dibilang orang bahwa suhu di Madinah saat akhir tahun bisa membuat terasa orang dari negara tropis seperti saya kedinginan. Karena belum sempat menunaikan ibadah sholat magrib dan isya, seluruh rombongan akhirnya sepakat untuk melakukan sholat jamaah di Masjid Nabawi, sekalian menunjukkan jalan untuk menuju ke masjid dari penginapan kami.

Lokasi masjid ternyata berjarak sekitar 5 menit jalan kaki dari hotel dan terbilang mudah rutenya. Kami hanya cukup berjalan lurus saja dari pintu hotel lalu akan tiba di pintu gerbang nomor 16 Masjid Nabawi dan berada langsung di bagian sisi kanan masjid yang juga berdekatan dengan pintu masuk masjid untuk khusus untuk perempuan. Karena malam itu jamaah terdiri dari perempuan dan laki-laki maka rombongan pun berjamaah bersama di pelataran masjid. Sholat berjamaah di Masjid Nabawi, sungguh merupakan pengalaman pertama kali yang sungguh tidak terlupakan bagi saya.

Halaman Masjid Nabawi terlihat sangat indah. Lampu-lampu di berbagai penjuru masjid menyala bagaikan taburan bintang, belum lagi langit memang terhitung cerah malam itu. Pendaran cahaya bintang di langit pun berbaur sempurna dengan pendaran cahaya lampu Nabawi.

Hutan Beton Di Jazirah Arab
Saya sama sekali tidak memiliki bayangan seperti apakah bentuk kota yang satu ini, yang saya tahu bahwa Jazirah Arab pasti didominasi dengan gurun pasir dan bangunan-bangunan bergaya sederhana dengan dinding yang warnanya juga seragam dengan warna gurun. Namun kenyataan berkata lain, gedung-gedung di sekitar Masjid Nabawi memang kebanyakan memiliki warna yang mirip dengan warna pasir gurun, namun menjulang tinggi bagaikan hutan beton di tengah kota Jakarta. Walaupun tinggi bangunan di sini "katanya" tidak ada yang lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi menara masjid, tetapi cukup juga untuk menghalau sinar matahari di beberapa sisi jalan. Di halaman depan hotel saya misalnya, sesiang dan seterik apapun matahari bersinar halaman hotel tetap teduh dan nyaman, belum lagi jika angin bertiup dari lorong-lorong antar gedung di sekeliling.

Bolak-balik dari masjid ke penginapan saya pun menjajal semua jalur berbeda yang bisa membawa saya kembali ke hotel. Kesimpulannya, tidak heran jika banyak jamaah terlebih kaum manula yang tersasar. Bentuk bangunan yang ada di sini memang serupa walaupun tidak sama. Tata letak dan juga pertokoannya yang sangat mirip satu sama lain juga lumayan membuat bingung. Mengingat beberapa hotel di kota ini juga memiliki nama yang mirip, maka coba hafalkan gedung yang terdekat dengan hotel kita. Contohnya, hotel saya berada segaris lurus dengan pintu nomor gerbang masjid 16, dari arah hotel saya akan langsung melihat menara masjid, sebaliknya dari arah masjid jika dilihat dari jalan di depan pintu nomor 16, maka saya akan melihat tulisan besar "Restoran Masakan Indonesia", maka tanda itulah yang saya hafalkan. Jaga-jaga kalau lupa, maka itu patokan utama saya.

Jalanan di kompleks Masjid Nabawi sangat lebar ukurannya dengan lalu lintas yang berbeda 180 derajat dari lalu lintas Jakarta. Setelah saya amati ternyata deretan gedung-gedung beton ini adalah bangunan hotel. Semakin dekat dengan pintu Masjid maka semakin mahal hotelnya. Ya apa mau dikata, teori ekonomi juga pasti berlaku di sini kan ya.


Al Masjid Al Nabawi
Bercengkrama Di Masjid Nabawi
Masjid Nabawi yang juga dikenal dengan nama Al Masjid Al Nabawi ini merupakan masjid kedua terbesar di dunia setelah Masjidil Haram di Mekkah. Masjid ini juga merupakan masjid kedua yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW setelah Masjid Quba dalam perjalanan hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Masjid ini dibangun di atas tanah yang dahulunya merupakan tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah. Masjid Nabawi tidak hanya menjadi tempat beribadah bagi umat islam saja, namun tempat ini juga menjadi tempat bercengkrama penduduk setempat dan juga para jamaah haji dan umroh yang berkunjung. Banyak orang berkumpul selepas waktu Ashar, mereka menunggu waktu Magrib di pelataran masjid bersama dengan seluruh anggota keluarga. Tidak hanya sekadar berkumpul, mereka juga membawa minuman dan juga makanan untuk disantap bersama. Mereka baru membubarkan diri lepas waktu isya, malah banyak juga yang baru membubarkan diri menjelang tengah malam.

Jelang Waktu Magrib
Lain padang, lain belalang. Jika di Jakarta mall penuh saat akhir pekan tiba, maka di Madinah jumlah pengunjung ke Masjid juga meningkat tajam saat akhir pekan tiba. Setiap hari Masjid Nabawi memang tidak pernah sepi jamaah, namun akhirnya pekan jumlah jamaah yang datang memang jauh melimpah ruah. Semua lokasi sholat yang disiapkan pasti penuh oleh jamaah, kondisi di dalam masjid jangan ditanya, jika tiba di sana sudah mepet waktu sholat maka pintu masuk masjid dipastikan sudah ditutup karena jumlah jamaah di dalam juga sudah padat.

Di hari tertentu banyak kelompok-kelompok kajian Al-Quran penduduk setempat yang diadakan di dalam masjid. Mulai dari usia dewasa, hingga usia anak-anak. Menyenangkan saat mendengar sekelompok remaja melantunkan ayat Al-Quran yang sedang mereka hafalkan bersama-sama, atau saat melihat anak-anak kecil berebutan bertanya pada sang guru tentang apa yang sedang mereka pelajari. Keseruan yang turut membuat saya penasaran akan hal yang sedang mereka pelajari, sayangnya saya tidak mengerti sama sekali bahasa mereka.

Satu waktu saya sengaja menyambut senja dengan memilih untuk beribadah di pelataran masjid. Di situ saya juga bertemu dengan banyak kelompok anak kecil yang tengah bermain dengan riangnya dan berlarian ke sana kemari mengelilingi masjid. Ada juga yang tengah sibuk dengan pekerjaan rumahnya, atau anak usia pendidikan Taman Kanak-Kanak yang asyik mewarnai dengan sang ibu. Di satu sudut saya melihat sekelompok remaja mengobrol seru sambil tertawa malu-malu, entah apa yang sedang mereka bahas saat itu. Sebagai pecinta kucing, saya sangat bahagia waktu menemukan seekor kucing tertidur nyaman di atas sajadah tanpa ada seorang pun yang menganggunya, atau saat dua ekor burung merpati terbang bebas bermanuver menukik masuk ke dalam kubah masjid. Mungkin ini yang disebut dengan tempat untuk semua. Tempat di mana semua bisa nyaman dan aman melakukan kegiatan mereka.

Saat-saat menjelang Subuh adalah waktu yang paling menyenangkan bagi saya, melihat semua orang berbondong-bondong ke masjid sejak langit masih gelap demi untuk bisa menunaikan ibadah subuh berjamaah. Tidak sedikit ibu yang membawa balitanya walaupun hari masih terbilang malam. Pemandangan bapak-bapak yang sholat sambil mengendong buah hatinya juga banyak saya temukan. Si anak terlelap di bahu ayahanda, sementara sang ayah tetap khusyuk melakukan ibadahnya.

Hal menakjubkan lainnya bagi saya dalam perjalanan ini adalah saat saya melihat semua pemilik toko segera menutup tokonya untuk ikut beribadah bersama. Yang tidak memiliki toko, mereka dengan santai meninggalkan barang dagangannya tanpa rasa khawatir akan kehilangan barang dagangannya. Saat adzan menggema dan iqomah memanggil, semua menghentikan kegiatan dan bersama-sama memenuhi panggilanNya.

Tenggang rasa adalah satu hal besar yang saya pelajari dan rasakan dalam perjalanan saya kali ini. Saya berpikir, bahwa gerakan tata shalat yang diajarkan di setiap negara sepertinya berbeda, terbukti saya melihat banyak variasi gerakan sholat yang berbeda dari yang biasa saya lakukan. Misalnya, saat duduk tahiyat akhir kaki saya mengarah ke sebelah kanan namun ada yang melakukan duduk tahiyat akhir dengan kaki mengarah ke sebelah kiri. Cara mereka bersujud juga berbeda. Ada yang bersujud seperti biasa, namun ada juga yang merebahkan seluruh badannya ke lantai. Berbeda gerakan, jelas. Apakah ada yang memprotes cara mereka beribadah? Rasanya tidak. Entah ada atau tidak Undang-Undang yang menjamin, namun setiap individu bebas beribadah dan berdoa kepada Allah SWT dengan cara mereka masing-masing.

Sebagai seorang perempuan saya juga merasa sangat nyaman di sini. Tidak ada yang mengkritik cara saya memakai hijab. Semua juga memakai hijab sesuai dengan caranya sendiri. Orang India kebanyakan hanya melilitkan kain sari mereka yang multifungsi menjadi penutup kepala mereka, anak-anak dan remaja tampak apik melilitkan pashmina mereka melingkari leher, sementara perempuan dewasa terlihat lebih santai memilih untuk menggunakan cadar. Semua tampak indah tanpa ada acara pandangan saling menghakimi satu sama lain. Satu yang pasti, warna hitam nampaknya menjadi warna favorit perempuan di sana.

Pak Ustadz sebagai kepala rombongan kami kerap berpesan selain memaksimalkan beribadah supaya kami juga kerap bersedekah di sini. Jangan salah, bersedekah tidak melulu harus uang. Coba sesekali tengok meja buah saat waktu makan di hotel, biasanya banyak buah yang tersisa bisa di bawa ke kamar untuk kemudian nantinya dibagi-bagikan kepada yang membutuhkan. Banyak musafir yang tinggal di masjid dan tidak keberatan sama sekali jika diberikan makanan. Jangan tersinggung juga jika saat kita sedang duduk manis tiba-tiba ada orang muncul dan memberikan beberapa buah kurma atau permen kepada Anda. Mereka sedang bersedekah kepada orang-orang yang ada di masjid.

Menunggu Fajr
Di dalam Masjid Nabawi terdapat satu tempat yang dijanjikan Allah SWT akan diangkat menjadi taman surga di hari akhir nanti. Tempat ini di kenal dengan nama Raudah. Lokasi Raudah berada di bagian dalam Masjid yang merupakan bagian dari bangunan asli yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW dan berada bersebelahan dengan makam Rasulullah SAW berserta kedua sahabatnya Abu Bakar Siddiq RA dan Umar Bin Khattab RA. Tempat ini merupakan tempat dimana doa-doa selalu berkumandang, linangan air mata pun tak pernah berhenti di sini. Berbeda dengan Masjid Nabawi yang menggunakan karpet berwarna merah, Raudah menggunakan karpet berwarna hijau. Jika sudah berada di Masjid Nabawi maka tentu sedih sekali jika kita tidak bisa mengunjungi Raudah. Tempat ini juga merupakan yang dijanjikan sebagai salah satu lokasi di mana doa-doa menjadi mustajab untuk dikabulkan. Tidak heran jika tempat ini memang tidak pernah sepi sama sekali, selalu dipenuhi oleh jamaah dari belahan dunia manapun.

Waktu untuk masuk Raudah pun terbatas. Kebanyakan orang mulai memenuhi Raudah setelah waktu sholat subuh hingga sekitar pukul 9 pagi. Karena lepas dari pukul 9 pagi pintu menuju Raudah akan di tutup. Jamaah yang berada di dalam akan antri untuk kemudian bergantian mendapatkan kesempatan untuk beribadah di dalamnya. Walaupun sudah diatur sedemikian rupa terkadang jumlah jamaah yang sangat banyak memang menjadi kendala. Saya ingat sebelum masuk ke dalam Raudah, Ustadzah yang mendampingi kami berkata, "Banyaklah berdoa, berdzikir, dan ikhlas saat masuk ke dalam sana. Semoga Allah SWT memberi kemudahan bagi kita semua," ujarnya. Saya bersyukur bahwa seluruh rombongan saya bisa melakukan ibadah di dalam Raudah, semoga semua doa-doa yang dimohonkan juga dikabulkan oleh Allah SWT. Amin.

Oh iya, di dalam Masjid Nabawi disediakan tangki-tangki plastik besar berisi air zam-zam maka setiap pergi ke masjid biasanya saya membekali diri dengan satu buah botol kosong untuk diisi dengan air zam-zam. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum masuk ke Masjid Nabawi. Masjid Nabawi memang menyediakan loker dan plastik untuk menyimpan alas kaki kita. Tetapi dengan jumlah jamaah yang selalu banyak alangkah baiknya jika kita membawa plastik sendiri, atau mungkin bisa membawa tas kecil untuk alas kaki kita. Jika kita membawa tas, setiap masuk ke dalam masjid akan ada petugas yang memeriksa tas tersebut.

Ada yang bilang bahwa hp dan kamera tidak diperbolehkan dibawa masuk, namun kenyataannya boleh kok. HP dan kamera poket saya aman masuk ke dalam masjid. Setiap hendak masuk simpan dahulu handphone dan kamera di dalam tas, aman kan. Setting HP dalam kondisi silent untuk menghindari membuat jamaah lain terganggu saat beribadah jika tiba-tiba ponsel kita berbunyi. Tidak ada yang melarang kita mengabadikan tampak dalam masjid, jamaah diperbolehkan berfoto. Selama tidak berlebihan sampai menganggu orang lain tentunya.

Jika kita berbelanja dalam perjalanan menuju masjid, ingat bahwa yang dilarang dibawa masuk ke dalam masjid justru barang belanjaan. Jika petugas menemukan barang belanjaan hasil shopping maka tidak akan diperbolehkan masuk ke masjid. Mungkin jika semua yang membawa belanjaan diizinkan masuk maka shaf saat sholat akan dipenuhi shaf tambahan berupa kantung belanja.

Kadieu....kadieu....
Kadieu..kadieu..aliasnya kesini kesini kata-kata ini sering sekali saya dengar saat berada di Madinah. Sepanjang jalan menuju masjid memang dipenuhi dengan area pertokoan, berbagai macam barang-barang dijual di sana. Mulai dari pakaian, perlengkapan beribadah, parfum, souvenir, perhiasan, dan juga makanan. Jangan kaget jika Anda mendengar seseorang dengan raut wajah Arab yang kental tiba-tiba menyapa dengan sapaan apa kabar, silahkan mampir, atau bahkan berteriak kadieu-kadieu. Kebanyakan penjual di Madinah bisa berbahasa Indonesia, beberapa bahkan berbicara bahasa Jawa dan Sunda. Ya walaupun tidak fasih tetapi cukup untuk melakukan transaksi jual beli dengan calon pembeli. Mungkin para pedagang ini menyadari bahwa orang Indonesia merupakan salah satu pangsa konsumen terbesar mereka, sehingga akhirnya mereka pun berinisiatif untuk mempelajari bahasanya.

Mayoritas orang yang berkunjung ke kota ini memang untuk beribadah, namun menyisipkan waktu untuk berbelanja juga tidak ada salahnya. Saya pribadi menyisipkan waktu tersebut di sela kegiatan beribadah. Setiap perjalanan pulang dari masjid untuk kembali ke hotel pada jam makan siang dan makan malam, saya pasti melewati deret pertokoan tersebut, biasanya itulah waktu yang saya gunakan untuk melihat-lihat dan membeli souvenir serta oleh-oleh.

Bagi saya pribadi berbelanja di Madinah sangat menyenangkan, para pedagang juga tidak memaksa kita untuk selalu membeli barang dagangan mereka. Dari harga yang mereka tawarkan juga masih bisa kita tawar lagi. Jika sepakat dengan harganya biasanya mereka akan berkata "halal", setelahnya kita hanya perlu membayar seharga yang telah disepakati tersebut.

Jika ingin memberi souvenir berupa tasbih, gelang, pacar kuku, make-up, parfum, gantungan kunci, tempelan kulkas, tetapi Anda malas menawar (seperti saya), maka saya sarankan untuk mencari toko serba 2 Riyal. Mereka menjual berbagai oleh-oleh tersebut dalam satu harga, yaitu 2 Riyal saja. Saya berhasil menemukan beberapa toko serba 2 Riyal di sekitar komplek Masjid Nabawi ini, salah satunya terletak tepat di seberang hotel tempat saya menginap.

Jika kita berada di Madinah pada hari Jumat, hari ini bisa dibilang juga merupakan hari yang baik untuk berbelanja. Pedagang banyak yang memberikan potongan ekstra di hari ini. Mungkin karena hari Jumat merupakan hari yang baik sehingga mereka juga memberikan tambahan diskon di hari ini.

Seluruh pedagang di Madinah adalah lelaki, maka saya sarankan jika ingin berbelanja sebaiknya Anda tidak pergi sendirian. Minimal ada orang lain yang menemani, namun bukan karena takut dijahati atau bagaimana melainkan supaya lebih nyaman saja. Mayoritas pedagang yang saya temui semuanya ramah, beberapa bahkan bikin baper karena gantengnya gak santai dan baik hati.

Suasana Pagi Di Kota Madinah
Keramahan Penduduk Negeri Gurun
Jujur saja sebelum melakukan perjalanan ini tidak sedikit kabar mengenai arogansi penduduk negeri gurun yang sempat mampir ke telinga saya. Sampai saya akhirnya sampai di satu kesimpulan pasti bahwa orang menyebalkan itu pasti ada dimana-mana begitu juga dengan orang yang baik hati dan menyenangkan.

Saya hampir saja meninggalkan dompet saya di meja imigrasi jika sang petugas tidak berbaik hati untuk meminta orang membantunya mengejar saya yang sudah hampir keluar dari area pemeriksaan paspor. Pernah juga saya hampir meninggalkan segelas besar minuman yang seharusnya disertakan satu paket dengan makanan pesanan saya karena terburu-buru dan tidak sadar bahwa minuman tersebut belum diambil. Semua perempuan yang sedang mengantri di belakang saya spontan berteriak memanggil saya kembali.

Satu ketika saat saya sibuk mencari pecahan kecil untuk membayar kekurangan belanjaan saya, si penjual ternyata melihat permen kopiko di tangan saya, dia lalu berkata, "Boleh kasih itu saja?". Setelah duberikan permen tersebut lalu ia berkata kembali, "Ok, kurangnya sudah halal. Ganti dengan ini," sembari mengangkat permen yang saya berikan. Penjual mana yang mau dibayar dengan permen, baru saya temukan di sini...hehehe. Dua buah permen untuk mengganti kekurangan 2 Riyal atau sekitar 8000 Rupiah, wah saya sih bersyukur sekali.

Pernah tidak hanya karena memberikan sebutir permen pelega tenggorokan lalu didoakan dengan khusyuknya dan dalam kasus ini di dalam Masjidil Haram sebagai wujud rasa terima kasih mereka atas permen yang kita berikan? Di sini orang seperti itu ada, bahkan banyak.

Kota ini benar-benar penuh dengan orang yang baik hati, namun orang jahat juga tetap ada dan tetap waspada. Jika ada perempuan (atau lelaki) yang tiba-tiba mendekati dan meminta uang sebaiknya hindari saja. Mereka biasanya punya gerombolan, jika diberi biasanya gerombolan mereka akan mengelilingi kita. Bukannya mau pelit tetapi biasanya yang akan mendekati itu perempuan muda yang masih sehat-sehat saja. Saya juga bingung kenapa perempuan muda itu meminta uang ke sana ke mari. Sebaiknya jangan jalan-jalan sendirian, terlebih jika perempuan. Toh lebih nyaman jika berjalan dengan beberapa orang bersama ketimbang sendirian.

Jajan is Lyfeeee....
Bagi saya jalan-jalan dimana pun dan kapan pun belum lengkap tanpa jajan....hehehe. Sesampainya di hotel dan menemukan waktu luang saya pun mengeret papa masuk ke dalam supermarket Bin DaWood, salah satu chain supermarket terbesar di Saudi Arabia. Saya penasaran dengan hebohnya adik laki-laki saya bercerita yang berkata bahwa pilihan rasa jus di sini jauh lebih lengkap dari pada di Tanah Air, dengan rasa yang jauh lebih enak dan harga yang jauh lebih murah. Saya juga penasaran dengan roti 7 berbentuk Croissant dengan harga 1 Riyal saja dan tentu juga jajanan makanan ringan lainnya....hehehe.

Beruntung lokasi gerai Bin DaWood ternyata tidak terlalu jauh dari Masjid, hanya satu blok gedung dari halaman luar masjid. Beruntung lagi papa saya juga orang yang gemar jajan, lepas waktu sholat Isya saya pun mengajak papa mampir ke sana. Kami akhirnya membeli berbagai macam jus yang memang rasanya jauh lebih enak dari jus botolah di sini. Rasa penasaran saya akan roti 7 pun terbayar, dan rotinya supeeeeer enaaaaak!! MUST! SHOULD TRY!! Satu hal lagi yang membuat saya berbinar-binar di dalam supermarket adalah saya menemukan Pop Mie....hehehe. Mie instan legendaris asal Tanah Air ini ternyata sukses "menjajah" Jazirah Arab. Tak pelak saya pun membeli beberapa buah untuk saya cicipi perbedaan rasanya dengan keluaran Tanah Air alibi bener padahal mah emang dasar aja doyan mie.

Di Bin DaWood kita juga bisa membeli berbagai macam cokelat dan camilan yang kalau di beli di supermarket Jakarta masuk kategori makanan impor dan harganya kurang masuk akal. Sementara jika mau membeli cokelat kiloan gerai-gerai yang berjualan kurma di sekitar masjid juga menjualnya. Biasanya di bandrol sekitar 15 Riyal perkilo. Sama seperti harga yang ditawarkan oleh beberapa toko di pinggiran kota Jeddah. Harga ini juga lebih murah ketimbang membeli cokelat kiloan di Kebun Kurma atau di Mekkah.

Selesai dengan supermarket ini, keesokannya saya kembali "berisik" ingin mencari kopi. Belum lagi kebetulan saya kurang cocok dengan kopi yang disajikan di hotel setiap harinya dan persediaan kopi instan dari Indonesia juga mulai menipis. Akhirnya misi mencari gerai kopi asal Amerika yang banyak tersebar di pelosok dunia pun saya lakukan. Bukan sombong atau bagaimana, kopi yang disajikan di hotel sudah saya racik dengan takaran apapun tetap kelewat kental dan kadar asamnya bukan main-main. Saya kasihan dengan lambung saya, namun pasokan kebutuhan kafein juga memanggil-manggil setiap harinya. Maka rasanya saya harus segera berjumpa kembali dengan kawan lama saya, alias kopi ala Starbucks Coffee.

Awalnya, lumayan sulit menemukan kedai kopi ini. Alih-alih menemukannya saya malah terlebih dahulu berjumpa dengan gerai Kolonel Sanders dan Hardee's Burger yang langsung berada di bawah pengelolaan Carl's Junior Burger. Sebelumnya gerai McDonalds sudah terlebih dahulu menyapa saya di bandara. Saya pun menyempatkan diri membeli ayam KFC, penasaran seperti apa menu yang mereka hadirkan di Saudi Arabia.

Kenapa KFC? Karena menurut saya KFC selalu memiliki cara penyajian yang berbeda di setiap negara. Jika di Indonesia kita bisa memesan kentang atau nasi, di Madinah saya mendapatkan kentang dan roti burger utuh, dengan condiment saus tomat dan mayo. Berbeda jauh dengan KFC yang pernah saya sambangi di Kamboja, kala itu saya mendapat condiment acar timun. Sementara di Viet Nam saya malah mendapat topping telur ceplok di atas nasi saya. Untuk satu paket berisi 4 buah ayam, kentang goreng ukuran besar, 2 buah roti burger utuh, dan satu gelas cola ukuran JUMBO, saya menghabiskan uang sekitar 29 Riyal. Oh iya, cola ukuran JUMBO ini atas keculasan mas kasir sebenarnya yang tiba-tiba mengupgrade minuman tanpa kesepakatan saya terlebih dahulu. Jadi HATI-HATI, lebih teliti.

Kabar burung lain berkata bahwa di Saudi Arabia hanya lelaki yang bisa membeli di gerai makanan. Jawabannya BOHONG. Perempuan juga bisa membeli kok. Beberapa memang memang memisahkan kasirnya, ada kasir untuk lelaki dan khusus untuk perempuan. Di KFC antara kasir khusus untuk perempuan dan lelaki dipisahkan oleh satu buah tembok setebal 15 cm....hehehe.

Kembali ke kedai kopi. Berbekal informasi dari seorang teman baik, saya pun akhirnya berhasil menemukan gerai kopi Starbucks tepat di sisi sebelah kanan pintu gerbang masjid nomor 26. Gerainya kecil, tapi sudah buka sejak pukul 6 pagi dan pembeli juga sudah mengantri cukup panjang. Belum lagi cuaca di Madinah semakin dingin setiap harinya, segelas grande hot americano atau cafe latte di pagi hari pastinya akan sangat menyenangkan. Well, paling tidak hal ini menyenangkan bagi saya. Saya sempat tergelak saat melihat toko HnM yang berada bersampingan dengan Starbucks Coffee juga nampaknya sudah buka di jam tersebut.

Senja Di Madinah
Sampai Jumpa Madinah
Menghabiskan hanya beberapa malam di Madinah ternyata sukses memenjarakan hati saya. Saya benar-benar jatuh cinta dengan kota ini. Bagi saya Madinah berhasil membuat saya merasa damai dan memberikan ketenangan tersendiri bagi hati saya. Masjid Nabawi adalah salah satu tempat terindah yang pernah saya kunjungi, masih terekam dengan baik dalam ingatan saya setiap jengkal pesonanya. Masjid besar berkarpet merah yang di dalamnya terdapat berbagai cerita.

Saya dan rombongan meninggalkan Madinah tepat di hari jumat setelah lepas waktu ibadah sholat Jumat. Entah kapan saya akan bisa kembali mengunjunginya, namun saya berharap bahwa kesempatan untuk itu akan kembali ada. I do wish to stay longer here. It's hard to leave this place. I do burrying part of my heart here, so I could comeback to visit this place again near future. Amin, Ya Robbal Allamin.