Jajaki Tanah Batak di Negara Singa

Tampak Depan Asian Civilization Museum
Yap, jajaki tanah batak di Negara Singa. Kedengaran cukup aneh bukan, kenapa saya harus menjajaki tanah Batak di Singapura..hehehe. Cerita punya cerita saat saya berkunjung kesana bulan Februari lalu, sedang ada pameran tentang sejarah Batak di Asian Civilization Museum Singapura. Sebagai pecinta museum, tempat ini langsung menjadi lokasi pertama yang saya kunjungi setelah landing lagi disana.

Berlokasi disekitar wilayah Empress Pi, Asian Civilization Museum ini beroperasi setiap hari dari pukul 10 pagi hingga 7 malam waktu setempat, terkecuali pada hari Jumat, museum buka hingga pukul 9 malam. Sebenarnya saya tidak suka membanding-bandingkan antara Indonesia dengan negara lain mengingat lain padang lain belalang. Namun, melihat jam buka museum di Singapura ini jelas saya sangat tergelitik untuk berkomentar, andai saja museum di Indonesia buka hingga pukul 7 malam setiap harinya, saya rasa pasti jumlah pengunjung Museum bisa meningkat...tapi...ah terlalu panjang dan akan merusak posting ini kalau saya mengeluhkan tentang museum di Indonesia.

Kembali Asian Civilization Museum, museum ini menerapkan tarif khusus bagi kunjugan ke museum pada hari jumat mulai pukul 7 malam waktu setempat. Tiket yang harus dibayar hanya 50 persen dari harga biasanya. Yihaaa...diskon ini membuat saya hanya perlu mebayar sebesar 4 SGD perorang, happy..pastiiii. Sebenarnya saya di tawarkan untuk membeli tiket pameran lengkap yang sedang berlangsung di sana, namun merogoh kocek sebesar 20 SGD sangat lumayan sepertinya. Jadi saya cukup puas dengan pameran gratis yang ada, untungnya pameran tanah batak ini masuk kategori pameran gratis..*big grin*.

Pameran dengan judul BEGINNING OF THE BECOMING ini dimulai di lantai pertama museum, saya disambut oleh satu bingkai berukuran raksasa dengan tulisan Beginning of the Becoming, Batak Suthern from Northern Sumatera dengan hiasan pahatan kayu tradisional batak disampingnya, saya pun menyempatkan berpose disampingnya.
 



Hiasan pahatan kayu tradisional batak ini adalah salah satu dekorasi utama yang biasanya ada di Rumah para lelihir Batak. Merepresentasikan sosok naga sakto, Naga Padoha yang akhirnya dikalahkan oleh Boru Deak Parujar, The Creator of Earth.

Beginning of the Becoming ini sendiri adalah pameran yang menceritakan tentang kelahiran sosok raja batak, yang diawali oleh keberadaan tuhan pertama yang dikenal dengan nama Mula Jadi Na Bolon, namanya sendiri berarti AWAL DARI MENJADI atau dalam bahasa Inggris  BEGINNING OF THE BECOMING. Mula Jadi Na Bolon menciptakan tiga orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan yang kemudian ia jadikan istri bagi ketiga anak laki-lakinya. Mula bukanlah tuhan yang menciptakan bumi, bumi diciptakan oleh cucu perempuan mula yang bernama Si Boru Deak Parujar.

Tiga kali Boru berusaha untuk menciptakan bumi menggunakan segenggam tanah yang diberikan oleh Mula kepadanya. Namu setiap kali hampir berhasil membentuk bumi usahanya selalu di hancurkan oleh Naga Padoha, yang menjada dunia di bawah. Dalam usaha terakhirnya, dia berhasil mengikat naga padoha di antara pedang dan tanah. Sampai hari ini Naga Padoha belum juga bisa membebaskan diri. Menurut kepercayaan Batak gempa bumi terjadi karena usaha Naga Padoha untuk melepaskan dirinya.

Back in time, Boru akhirnya menyerah dan setuju untuk menikahi lelaki yang meminangnya namun dengan syarat bahwa lelaki itu bersedia untuk berganti nama dan mengubah dirinya menjadi sesosok pria tampan dan mereka akan tinggal di bumi ciptaan Boru. Mereka tinggal di Gunung Merapi hingga ke sisi Barat Danau Toba. Pasangan ini memiliki banyak anak, salah satu cucu mereka yang bernama Si Raja Batak lah yang akhirnya menjadi ayah bagi seluruh orang Batak.

Tampak Dalam Ruang Pameran

Raja Batak



Yup, Si Raja Batak, ayah bagi seluruh orang Batak. Seru juga ternyata mengikuti sejarah leluhur nenek moyang suku yang satu ini. Bagai mendengar kisah-kisah fantastis dewa-dewa Mitologi Yunani yang sangat tersohor di dunia. Namu sayangnya hanya itu sekilas sejarah yang bisa saya dapat dari pameran ini, hasrat hati ingin mendapatkan lebih namun mengingat saya hanya punya waktu kurang dari 2 jam untuk mengelilingi museum yang lumayan besar ini akhirnya saya memilihi untuk mengambil beberapa foto saja.



Oh iya, hari ini saya berbincang dengan seorang teman saya yang kebetulan belum lama pergi ke tanah Batak, ia juga mengamini pendapat saya bahwa kisah nenek moyang orang Batak ini bagai kisah para dewa-dewa Mitologi Yunani. Sempat di ceritakannya tentang kisah kenapa Belanda bisa bilang orang Batak itu makan orang, dan rasanya saya harus menyempatkan diri untuk berwisata langsung ke Tanah Batak ini.

Adios.. ^_^


Cavenagh Bridge, Oldest Bridge in Town


Another day in Singapore, trip around this town always be good here, moreover if the sky is blue and bright like that afternoon. Cavenagh Bridge is one of my favorite place to go in Singapore, the oldest bridge in town.Since I landed in afternoon time, so I decided to go to this bridge straight, moreover I also planned my self to go to Asian Civilization Museum which is near the bridge.

Cavenagh Bridge was built by the year 1868, in order to commemorate the 50th Anniversary of the founding of the Crown Colony of the Straits Settlements held in 1869. It is named after Colonel Cavenagh, the last Governor of the Straits Settlements (1859 - 1867) under the Government of British India. This bridge was planned to be named "Edinburgh Bridge" by the Governer Ord, since this bridge was first used during the visit of the Duke of Edinburgh to Singapore, but the city council decided to named it after a Colonel Cavenagh. This bridge was the last major project undertaken by Indian labor in 1869, and was opened without any special ceremony. It was designed by Colonel G.C. Collyer, Chief Engineer of the Straits Settlements, with R.M. Ordish, of the Public Works Department, then under the charge of John Turnbull Thomson. Its steel structure was shipped out from Glasgow by P&W MacLellan, and constructed by these P&W MacLellan Engineers of Scotland of the Clutha Ironworks. It was also the same company that had built the cast iron Telok Ayer Market.

Back in that time, the bridge linked Commercial Square (Raffles Place) and the government quarter, an essential alternative to get to the Post Office, replacing the ferry crossing which had cost a duit ("one cent") per ride.

In 1909, another bridge was built namely Anderson Bridge. Since the Anderson bridge was done all heavy traffic was diverted there, Cavenagh Bridge was declared off limits to "Vehicles Exceeding 3cwts, cattle and horses"only and then converted again into pedestrian bridge.

Another problem passed by this bridge, had not been designed to make allowances for the tides and as late as 1983, the bumboats (tongkangs in Malay or twa-koh in Chinese) plowing the river had to wait for low tide before making their way under the bridge. Finally, Singapore Public Works Department (PWD) decided to do another refurbishment to the bridge. It was for 5 months long, cavenagh bridge got make over for it preserve and strengthen its structure. This bridge was reopen on 3 July 1987.

Nowadays, Cavenagh Bridge is one of tourism attraction in Singapore. Located between the famous Fullerton Hotel and Asian Civilization Museum, make people always gather around this area. Since this area is also surrounding by a beatiful river view from the Singapore River, near with the Clarke Quay area and just a couple minutes from the Esplanade and Merlion Park.
It's not only tourist who often come here, when I was there, in that afternoon I saw many Singaporean family come together just to spend their afternoon here. Kids are running around, grandmother take her ice cream time, couple spend their lovely time near the bridge, I even saw a newlyweds to be did their pre wedding photo shot in the Bridge. Cute.. :). Last but not least, near from the bridge, there are also some historical bronze sculptures, try to find it, it will be so fun. Up to today I just aware with the two sculptures, while my sister found the cats sculptures.
Adios.. ^_^





Cavenagh Bridge

Cavenagh Bridge

Rules in Cavenagh Bridge


P&W Magellan Engineers Plat

Bronze Sculptures Around Cavenagh Bridge

Bronze Sculptures Around Cavenagh Bridge

Bronze Sculptures Around Cavenagh Bridge

View From The Cavenagh Bridge

View From The Cavenagh Bridge

View From The Cavenagh Bridge
Bronze Sculptures Around Cavenagh Bridge
Bronze Sculptures Around Cavenagh Bridge




Jadi Siapa Yang Alergi Emansipasi Wanita??

Bahas-bahas masalah emansipasi wanita kadang bisa jadi pisau bermata dua juga ternyata, apalagi saat dihadapkan dengan kenyataan banyak yang katanya setuju sama emansipasi wanita tapi ternyata gak siap juga menghadapi masalah emansipasi wanita ini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online Emansipasi Wanita memiliki arti proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Yang secara bahasa manusianya emansipasi wanita itu seharusnya merupakan persamaan hak-hak wanita dengan para pria di segala bidang yang ada. Tapi sayangnya saya rasa masih banyak pihak yang nampaknya alergi dengan emansipasi wanita ini, baik para pria maupun para wanita itu sendiri.

Buat saya pribadi, emansipasi wanita itu berarti bisa menerima bahwa wanita bisa lebih unggul disegala bidang, bisa menerima bahwa wanita juga boleh dan bisa menjadi breadwinner bagi keluarga, bisa menerima bahwa kalian para pria harus kalah bersaing dengan kami para wanita di kompetisi hidup yang ada.

Emansipasi wanita, nampaknya sering dikaitkan dengan kemandirian seorang wanita, ya berdasarkan hasil perbincangan saya sore ini dengan teman saya Titis dan Mamet intinya buat kami emansipasi wanita itu ya wanita mandiri, stand on her own feet or some people may called it alfa female...(indomaret gak ada apaaah??).

Buat saya dan Titis wanita yang kurang lebih sepuluh tahun menerpa kerasnya kehidupan ibukota, temenan sama angkutan umum sepanjang hari, hal-hal sepele macam tidak di jemput pacar pas lagi punya, atau harus ngerjain kerjaan yang katanya kerjaan pria adalah bukan masalah besar. Toh selama ini kami memang menjalankannya sendiri, jadi bukan berarti saat ada pasangan kami harus mendadak manja menjadi tidak bisa. Sayangnya yang saya gagal paham banyak pria-pria di luaran sana yang merasa tersinggung dengan sikap wanita yang seperti ini, dibilang kelewat mandiri, tidak bisa menghargai kehadiran sosok pria atau paling parah bahwa kami sepertinya tidak butuh pria. Defensif saya mengatakan bukannya tidak butuh kehadiran pria, namun jika memang masih bisa dikerjakan sendiri kenapa harus bikin repot orang lain??

Berbeda dengan pria kebanyakan teman saya Mamet punya pemikiran bahwa wanita mandiri itu keren kibas poni, toh malah tidak menyusahkan pasangannya jika di depannya mereka akan menikah. Ya bukan berarti dia lepas tangan juga akan tanggung jawab terhadap pasangannya nanti, tapi paling tidak wanita mandiri itu biasanya lebih bisa menghargai hasil kerja pasangannya, dan buat dia point tidak manja itu hal penting. Hal sepele tidak bisa menjemput dan pihak wanita terima-terima saja adalah nilai plus bagi wanita buat dia.

Buat kami bertiga kalau memang mengakui keberadaan emansipasi wanita, mengapa tidak diakui secara menyeluruh, jangan hanya mengakui eksistensi emansipasi wanita saat hal tersebut ada nilai menguntungkan bagi pihak tertentu.

Jangan jika saat anda membeli berlian dengan gaji anda sendiri dan pasangan anda marah lalu tiba-tiba anda mengatakan bahwa itu hak anda mau membeli apa dengan uang anda, toh anda adalah wanita mandiri, namun merengek merajuk marah saat pasangan anda mengatakan berhalangan menjemput anda dengan mengatakan dia tidak sayang lagi kepada anda.

Jangan juga anda melarang-larang pasangan anda untuk bekerja dan menyuruhnya di rumah sementara memenuhi beberapa kebutuhan tambahan mereka saja anda malah berteriak dasar wanita manja.

Pembicaraan mengenai emansipasi wanita ini biasanya bermuara pada masalah posisi wanita di rumah tangga. Saya rasa para wanita mandiri tetap tidak akan melupakan kodratnya sebagai istri maupun seorang ibu, oh iya satu lagi jangan pernah anda mengajak seorang wanita mandiri untuk hidup susah bersama. Maaf, kalau hidup sendiri saya bisa bahagia kenapa saya harus mau membagi hidup bersama dengan orang dengan keadaan susah. Berbahagialah kalian yang punya pasangan mandiri dan berbahagialah kalian yang memiliki pasangan yang bisa memahami konsep emansipasi wanita.

Permasalahan emansipasi wanita ini nampaknya tidak hanya terjadi dibelahan bumi nusantara tercinta. Pagi ini, guru kelas bahasa Korea saya sempat menyinggung masalah emansipasi wanita. Zaman dahulu, posisi wanita di Korea sendiri kurang di hargai. Orang tua akan lebih bangga jika anak yang dilahirkannya adalah pria, namun sekarang sudah tidak lagi. Emansipasi wanita sudah cukup baik disana, bahkan saat ini seorang wanita bisa memimpin negeri ginseng tersebut. Sementara hal ini juga terjadi di tanah air, beberapa suku di nusantara ini secara jelas memperlakukan seorang anak pria jauh lebih baik dibanding wanita, pria diutamakan dalam berbagai macam hal. Beruntung hal itu juga sudah mulai terkikis juga, kemampuan seseorang tidak dilihat lagi dari gendernya melainkan dari kemampuan diri secara personal. Ya marilah berdoa semoga kedepannya emansipasi wanita ini tidak lagi menjadi kendala yang berarti dimanapun di belahan dunia ini.

Adios.. ^_^