Letkol Gogor Aditya Tentang Karir Militer: "Kalau Dari Awal Sudah Tidak Tangguh, Minggir Saja"

Article on Qerja.com, Star Leader. Letkol Gogor Aditya
Letkol Gogor Aditya Tentang Karir Militer:
"Kalau Dari Awal Sudah Tidak Tangguh, Minggir Saja"
by Syahrina Pahlevi


Menjadi seorang perwira Angkatan Darat memang menjadi cita-citanya sejak kecil. Namun siapa sangka bahwa banyak juga konsekuensi yang harus dihadapinya. Menjalani posisi sebagai seorang anak, kakak, suami, komandan, dan juga abdi negara secara bersamaan tidaklah mudah. Belum lagi berbagai tuntutan pekerjaannya di lapangan.

Kepada Qerja, Komandan Batalion Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Letnan Kolonel Infanteri Mohammad Imam Gogor A. Aditya berbagi tentang kisahnya terjun ke lapangan dan juga saat harus menjalani berbagai peran dalam satu waktu.

Menjadi seorang tentara, apa saja tantangan yang Anda hadapi?
Kalau sudah memilih menjadi seorang tentara itu maka sadar tidak sadar, suka tidak suka, mau tidak mau, terpaksa tidak terpaksa hidup kami itu sudah milik negara. Apapun yang akan dilakukan harus izin terlebih dahulu. Bukan berarti profesi yang lain tidak harus izin, tetapi saat menjadi seorang tentara walaupun izin sudah keluar, tapi ternyata di hari tersebut ada tugas yang harus dilakukan, ya mau tidak mau harus dilakukan dan izin harus dibatalkan. 

Walaupun hanya sekadar untuk jalan-jalan saja harus tetap izin dengan komandan. Kalau tidak dapat izin, ya tidak bisa keluar. Sudah tidak bisa sebebas dulu lagi. Hidup kami itu sudah milik negara. 

Kalau dulu zaman masih pangkat Letnan kadang saya masih suka kabur, tetapi makin ke sini sudah makin mendarah daging dengan konsep tersebut. Kalau dipikir-pikir juga buat apa. Sekarang saya justru sudah menduplikasi orang-orang di sekitar saya untuk memahami kondisi saya. 

Kemarin bahkan waktu adik saya Prita menikah, saya sudah hampir tidak mendapat izin untuk menghadirinya. Bapak sudah tidak ada dan satu-satunya orang yang bisa mendampinginya ya tinggal saya. Sementara saat itu saya juga harus dinas 5 Oktober (Hari Tentara Nasional Indonesia) di Cilegon, harus membawa pasukan kala itu. Sempat bingung sekali harus bagaimana, walau pada akhirnya izin pun keluar hanya untuk dua hari. Jadi setelah akad nikah dan resepsi saya langsung kembali ke pasukan.

 Tahun pertama sampai kelima memang sempat merasa, waduh kok hidup saya seperti ini sekali ya menjadi seorang tentara. Tetapi semakin lama semakin sadar, oh ya memang harus seperti ini. Kesulitan juga datang saat saya harus membuat semua orang di sekitar maklum dengan kondisi saya. Belum lagi saat akhirnya saya berkeluarga, saya juga harus membuat paham tidak hanya istri saya, tetapi juga keluarga dari istri saya mengenai kondisi kehidupan saya sebagai seorang abdi negara. 

Sementara itu kalau di kedinasan, tantangan pekerjaan itu rasanya semua sudah dipikirkan oleh negara. Kalau ada tantangan yang menghadang mereka sudah pasti menyiapkan solusinya, kalau tidak atau belum ada solusinya ya kami harus mampu untuk bertahan.

Sudah menjalankan karir di Angkatan Darat selama 17 tahun dan menjadi Komandan Batalion di umur 38 tahun, titik balik apa yang membuat Anda akhirnya benar-benar yakin bahwa menjadi seorang prajurit memang jalan yang akan Anda tempuh untuk seterusnya?
Kembali lagi kepada kenyataan bahwa saya itu orangnya apatis, saya hanya memiliki satu prinsip bahwa saat saya bekerja memang harus dari hati saya. Saya itu selalu bekerja tanpa pamrih. Saya tidak pernah mengerjakan sesuatu hal dengan baik hanya karena ingin melaporkan hasilnya kepada komandan. Dari sejak pangkat saya masih Letnan Dua hingga sekarang, saya tidak pernah melakukan hal tersebut. Nothing to lose, apakah pekerjaan tersebut bisa membuat saya naik pangkat atau tidak, semuanya saya kerjakan dengan sebaik-baiknya.
Kalau membahas tentang titik balik, ya Sesko (Sekolah Staff dan Komando). Sesko itu benar-benar berat. Saya saya sangat bersyukur diberi kesempatan satu kali tes bisa masuk pendidikan. Tahun 2012 itu umur saya 35 tahun, kalau sampai saya gagal 3 kali berarti umur saya itu 37 tahun. Saya dulu sempat memiliki pemikiran, kalau memang saya mengikuti ujian Sesko hingga tiga kali masih tetap tidak lulus, maka saya akan mempertimbangkan untuk tidak berkarir di jalur militer lagi, ketimbang saya tidak bisa berkarir secara maksimal. Mengingat belum tentu juga ada kesempatan untuk ujian Sesko menghampiri lagi. Bagi saya umur saya terlalu muda untuk disia-siakan. Kalau memang tidak bisa berkarir di tentara, ya saya akan berkarir di tempat lain. Tidak ada masalah bagi saya.

Saya bukan mencari pekerjaan hanya dari segi finansial, tidak. Saya hanya ingin saya yang memang punya semangat untuk bekerja, bisa terus bekerja dan juga membangun di bidang apapun yang saya lakukan. Kalau nanti ke depannya kegagalan mengikuti, Sesko akan menjadi rintangan saya untuk naik jabatan atau mendapatkan jabatan tertentu, ya buat apa. Prinsipnya saya bekerja itu dengan tulus dan yang saya lakukan itu harus berhasil. Saya ini orangnya tidak ambisius, tidak juga ngoyo. Kalau memang saya sudah tidak bisa berkarya di tempat ini, ya sudah, sebaiknya saya berkarya di tempat lain. Hal ini bahkan sudah sempat saya komunikasikan dengan keluarga.

Nasib berkata lain, saya ternyata lulus ujian Sesko dan setelah itu masuk menjadi Paspampres. Saya merasa sangat bersyukur karena sepertinya passion saya juga di sana, setiap hari operasi, setiap hari dinamika yang dihadapi juga berbeda-beda. Pekerjaannya sama tetapi tantangannya berbeda. Saya pun berusaha menjaga momentum ini supaya bisa terus maju.

Sebagai seorang Komandan Batalion, menurut Anda atasan yang ideal itu seperti apa?
Ideal, bagi saya kata ideal itu sangat relatif. Hal yang menurut saya ideal belum tenti ideal bagi orang lain. Tetapi kalau di tentara bagi saya atasan ideal itu yang pertama, dia mau memberikan ruang dan waktu bagi bawahannya untuk membuktikan bahwa dia bisa bekerja dengan baik. 

Kadang-kadang memang suka tidak sabar jika kita melihat bawahan yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang dibebnkan kepadanya. Tapi sebagai atasan seharusnya bisa melihat dulu seperti apa sebenarnya karakter bawahan Anda. Kasih mereka pekerjaan, lalu lihat seperti apa mereka bekerja. Kalau memang jelek, ya tinggal diarahkan. Lama-kelamaan juga akan bisa terbaca berapa kapasitas yang dimiliki oleh bawahan tersebut. Kalau memang kapasitasnya cuma 70 persen, ya tidak bisa memberikan pekerjaan dengan kapasitas 90 persen kepada mereka. Kalau kapasitas mereka hanya 70 persen, berarti yang 30 persen itu adalah pekerjaan kita sebagai atasan.

Bisa memberikan ruang dan waktu untuk mengoptimalkan potensi bawahan. Saat bawahan tidak bisa melakukan, maka atasan harus membinanya, dan juga mampu memahami bahwa bawahan membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan tugasnya.

Yang kedua, atasan yang ideal itu adalah orang yang bisa melaksanakan aturan pada saat dibutuhkan dan bisa membijaksanakan aturan saat diperlukan. Bukan menjadi terlalu fleksibel, tetapi bisa bijaksana saat dia dihadapkan dengan kondisi lain yang menuntut dia tidak melakukan aturan itu.

Seorang atasan di perusahaan bisa memilih bawahan seperti apa yang diinginkan. Paling tidak mereka bisa melakukan penyaringan kriteria melalui CV misalnya. Sementara sebagai seorang Komandan Batalion, bawahan yang Anda dapatkan itu sudah given dan selalu berbeda-beda karakternya di setiap lokasi penugasan. Nah, karakter bawahan favorit Anda seperti apa untuk bekerja?
Saya ini bukan tipe atasan yang setelah saya memberikan pekerjaan saya tidak mau tahu kendala yang dihadapi oleh bawahan saya itu apa. Saya termasuk tipe atasan yang terbuka, jadi saat saya memberikan pekerjaan dan bawahan saya merasa mendapatkan kendala maka ia bisa melaporkan kepada saya kendala apa saja yang ia hadapi.

Kalau sudah begitu kan saya tinggal memberikan arahan apa yang harus dilakukan. Dengan begitu juga saya juga akan mampu memahami kapasitas bawahan saya seperti apa.

Saya tidak pernah memilih bawahan, bawahan seperti apapun yang diberikan pasti akan saya terima. Paling nanti saya tinggal menyesuaikan saja. Kalau misalnya si A lebih cocok di tempat si B dan begitu sebaliknya, tinggal saya tukar posisinya. Karena dengan begitu mereka akan lebih optimal dalam pekerjaan mereka. 

Salah satu contoh, misalnya saya dikasih supir, dan ternyata supir tersebut kurang dapat bekerja dengan baik. Saya tidak akan langsung menolaknya, saya akan mengajarinya supaya bisa bekerja dengan lebih baik. Dengan demikian secara pribadi dia tidak akan merasa diremehkan atau merasa tidak diakui keberadaannya. Dan yang kedua, kemampuan dia jadi menjadi lebih meningkat.

Terkadang kalau ada orang baru datang itu akan mengubah semuanya. Nah, saya tidak. Saya akan melihat terlebih dahulu kerja kamu seperti apa, kalau kerja kamu bagus ya lanjut, kerja kamu tidak bagus, siapapun dia mau dari Secapa, Secaba, atau Akmil, saya tidak ada urusan. Walaupun dia dari Akmil kalau tidak bagus ya tidak saya pakai, sementara walaupun dia dari Secapa tetapi bagus ya saya pakai. Begitu juga sebaliknya.

Selain bisa mengikuti perintah dengan baik, saya juga suka jika bisa memiliki bawahan yang gemar berinovasi. Jadi tidak sekadar mengikuti dan menjalankan apa yang diperintahkan, tetapi juga mengembangkan hal tersebut menjadi sesuatu yang lebih berguna bagi dirinya.

Misalnya begini, saya mau anggota saya bisa lari menempuh jarak 3.200 meter dalam waktu 16 menit. Saya perintahkan mereka untuk lari setiap hari. Perintahnya jelas dan dilaksanakan. Bagi saya setiap hari mereka latihan lari itu sudah bagus, sudah sesuai perintah, tetapi orang yang berinovasi dia tidak hanya akan berlari, dia akan melatih untuk menguatkan kakinya, lalu dia juga menguatkan tangannya, supaya pada saat dia lari tangannya tidak mudah letih dan kakinya juga lebih kuat.

Apakah ada kesalahan yang pernah Anda lakukan dalam berkarir?
Kalau di kedinasan, apa ya? Saya bisa sampai di posisi saya sekarang sebagai komandan ini berarti kan saya juga pernah menjadi staff dan komandan bawahan. Dan saya selalu menyesuaikan kondisi tersebut. Saat saya menjadi staff, berarti saya tidak punya kepribadian karena semua keputusan ada di tangan komandan. Kalau pada saat saya menjadi komandan staff, saya selalu memiliki pemikiran bahwa saya adalah seorang komandan dan apapun risikonya harus saya ambil.

Sementara itu kalau di tugas operasi, Alhamdulillah hingga saat ini saya belum pernah melakukan kesalahan yang fatal sampai membuat anggota harus tertembak atau bagaimana.

Kalau di homebase, Alhamdulillah belum ada. Ya, kalau sampai yang fatal sih tidak ada, tapi saya juga pernah menerjemahkan perintah komandan, seharusnya begini tetapi saya mengartikannya lain. Terkadang juga kesalahan yang diperbuat ternyata bisa juga membawa kita kepada satu pembelajaran baru yang bisa membuat saya melakukan evaluasi kepada kinerja saya ke depannya.

Kalau mengenai pencapaian yang pernah Anda lakukan selama berkarir?
Di masing-masing level ada hal yang membuat saya merasa bahwa itu adalah sebuah prestasi bagi saya.

Salah satunya saat saya menjadi Komandan Kompi (Danki) di Kariango. Saya ditempatkan di kompi yang paling lemah dalam satu batalion, kompi yang ditinggal dalam kondisi yang tidak bagus. Anggotanya belum memiliki kerangka yang kuat dan kepercayaan diri mereka juga kurang sekali.

Saya akhirnya berpikir, kira-kira apa yang bisa saya berikan kepada mereka, supaya kompi ini memiliki satu kebanggaan. Apa kebanggaan bagi mereka, ya itu adalah prestasi. Saya lalu melatih mereka, pagi hari saat yang seharusnya kompi melakukan apel pagi, kompi saya tidak apel pagi. Dari subuh mereka semua sudah latihan. Orang latihan di jalan, kami latihan di pasir. Saya sampai berani ambil keputusan bahwa apel itu tidak jam tujuh pagi tapi jam sembilan pagi. Saat ditanya oleh komandan, saya bilang bahwa mereka (pasukan kompi) sedang latihan dan nanti akan melakukan apel pada jam 9 pagi. Alhamdulillah pada saat mereka mengikuti satu kegiatan regu tangkas, di mana setiap kompi harus bertanding mulai dari olahraga voli, sepakbola, renang, panjat tebing, menembak, dan juga halang rintang, ternyata mereka menang. Itu juga sempat membuat kompi lain kaget, karena kompi saya bisa dibilang underdog.

Kami ikut serta di lomba Ton Tangkas (Peleton Tangkas) dan kompi kami menang. Terakhir kami mengikuti POR (Pekan Olahraga) Kompi, ada 17 Kompi dan waktu itu kami meraih juara pertama. Bagi saya itu adalah satu pencapaian.

Pernah juga waktu itu saya masih memegang pangkat Kapten, saya adalah orang pertama yang melatih pasukan dalam jumlah besar yaitu 500 orang untuk melakukan demonstrasi Yong Modo di hadapan pak SBY dan itu termasuk sukses, mengingat sampai sekarang Yong Modo itu menjadi beladiri wajib di TNI AD.

Pencapaian yang terakhir itu, saya sangat bangga bisa ikut mengamankan lambang negara ini (Presiden). Itu merupakan salah satu pencapaian terbesar bagi saya.

Kalau pencapaian operasi di lapangan?
Kalau di lapangan, operasi pertama saya di Papua di perbatasan. Waktu itu pangkat Letnan Dua langsung dapat penugasan ke perbatasan. Saya bertugas selama 14 bulan di sana, 6 bulan pertama saya bertugas di Torai, perbatasan Merauke ke Papua Nugini. Kemudian saya pindah ke Tanah Merah, posisinya lebih naik lagi ke atas. Operasi di sana sangat berkesan, karena posisi yang jauh dan tidak apa-apa. Belum lagi pada saat itu komunikasi masih sangat susah dan terbatas. Kalau komunikasi ke rumah itu satu bulan sekali, waktu itu juga belum ada HP.

Lalu berlanjut ke operasi di Aceh, yaitu pengepungan di Desa Cot Trieng. Kami adalah salah satu pasukan yang masuk pertama ke sana dengan total sebanyak 36 orang anggota.
Terakhir saat saya bertugas di Freeport. Kami bertugas mengamankan objek vital nasional, waktu itu undang-undangnya pengamanan objek vital nasional masih di TNI ya.

Menjadi tentara, hal apa yang bisa memberikan kepuasan bagi Anda?
Kepuasan seorang tentara itu ada saat semua misi bisa dijalankan dengan baik. Harus mission accomplished, karena bagi kami tugas itu sebuah kehormatan.

Siapa yang memberi dukungan terbesar bagi Anda?
Dari istri dan juga keluarga. Semangat saya ya istri saya, Irma. Semangat saya juga adalah ibu dan kedua adik saya Nisa dan Prita. Ibu yang memang awalnya menentang tapi akhirnya menerima dan sekarang menjadi salah seorang pemberi dukungan terbesar bagi saya.

Istri saya, dia adalah pegangan saya. Secuek-cueknya dia terhadap pekerjaan saya tetapi dia tetap menjadi pegangan dalam kondisi apapun. Walaupun saya tidak pernah bercerita tentang pekerjaan, karena bagi saya apa yang terjadi di kantor tidak akan masuk ke rumah, begitu juga sebaliknya.

Kalau berbicara tentang masa depan. Kira-kira sekitar 5-10 tahun ke depan Anda akan berada di posisi apa?
Nah itu dia, karena tadi saya sudah bilang bahwa saya ini orangnya nrimo, maka saya itu orangnya berpikir logis. Lima tahun kalau sesuai dengan rencana saya paling tidak pangkat saya sudah berubah. Saya juga akan berusaha supaya jabatan saya bisa sesuai dengan passion yang saya miliki, karena saya yakin jika bekerja dengan passion pasti hasilnya akan jauh lebih optimal. Itu saja yang saya inginkan.

Tetapi kembali lagi kalau berbicara mengenai jabatan tidak ada yang bisa menyangkanya. Siapa sangka seorang wadan Dodikjur bisa ikut Sesko, atau seorang Pasi Korem bisa menjadi Danyon. Saya benar-benar santai menjalankannya. Saya selalu ingat nasihat yang diberikan oleh pak SBY, beliau bilang janganlah kamu besar karena jabatanmu, tapi besarkanlah jabatanmu itu. Dan saya benar-benar menerapkan hal tersebut.

Saya memang belum bisa membuat semua orang berdecak kagum karena prestasi saya sebagai seorang Angkatan Darat. Tetapi itu tidak masalah, rasanya cukup orang-orang di sekeliling saya saja yang bilang, "Kerjaanmu bagus, Gor." Itu saja saya sudah senang. Yang terpenting sekarang saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa militer adalah industri dan juga profesi yang keras untuk dijalankan. Apa saran Anda bagi orang yang ingin terjun menjadi tentara?
Banyak orang yang berpikir menjadi tentara itu keren. Itu salah besar. Yang benar adalah menjadi tentara itu berat. Jangan pernah Anda masuk ke militer hanya dengan niat supaya menjadi keren. Niat pertama haruslah tangguh. Kalau dari awal sudah tidak tangguh, ya lebih baik minggir saja.

Kalau tadi saya sempat bilang mau keluar, itu bukan karena tidak tangguh, saya itu mau keluar bukan mau minggir. Minggir itu hanya ikut-ikutan saja, jabatan di situ-situ saja juga tetapi tetap ikut-ikutan. Hasilnya lama-lama akan terpinggir juga. Saya tidak pernah mengecilkan orang yang seperti itu, semua memiliki jalannya masing-masing, tetapi sebagai pribadi saya tidak bisa seperti itu. Saya mau tetap energik, saya mau tetap bekerja. Apapun itu. Mau jadi satpam ya sudah. Yang penting saya bisa tetap berkarya. Pujian yang muncul dari orang bukanlah tujuan akhir saat saya bekerja.

Apakah ada isu yang perkembang di masyarakat dan menjadi perhatian Anda?
Saya ini orangnya agak terlalu apatis dengan isu-isu yang berkembang, karena bagi saya hal-hal seperti itu pasti sudah ada yang mengurus. Saya justru lebih tertarik pada akar permasalahan yang menurut saya adalah penyebab semua isu-isu yang sekarang berkembang itu bisa terjadi.

Menurut saya akarnya itu bukan disebabkan oleh pemerintah atau siapapun melainkan karena tingkat disiplin yang rendah sekali di masyarakat. Kenapa sekarang banyak sekali anak muda yang menggunakan narkoba, menurut saya itu karena dari muda mereka tidak bisa disiplin. Bagi saya, orang yang mengalami pendidikan dengan disiplin yang tinggi sejak kecil, lalu selesai pendidikan SMP saya sudah harus tingal jauh dari orangtua, saya prihatin melihat anak-anak muda sekarang. Sangat prihatin.

Misalnya saya sekarang, iseng melempar batu ke jalanan, pasti akan ada kepala yang bocor terkena lemparan batu tersebut karena tidak menggenakan helm. Mulai dari masalah kecil seperti itu, menuruti peraturan untuk naik motor yang baik saja tidak bisa. Itu adalah hal-hal yang menurut saya menyebabkan Indonesia kehilangan jati dirinya. Hilangnya kedisiplinan dan juga karakter dari sosok para pemudanya.

Coba saja lihat sekarang banyak anak-anak di tingkat sekolah menengah atas yang tidak tahu tata krama saat diajak berbicara oleh orang yang lebih tua. Saya saja belum lama ini baru saja memulangkan anak PKL di Batalion ini. Mereka bersikap sangat apatis, ditanya siapa kepala sekolahnya jawabannya tidak tahu, ditanya apa yang ingin kalian dapatkan di sini jawabanya juga tidak tahu. Setelah mereka beberapa hari di sini ternyata sikap mereka tetap tidak berubah, akhirnya saya kembalikan ke sekolah sebelum saya lebih marah lagi.

Saya juga selalu menekankan pendidikan moral kepada seluruh pasukan saya di sini. Saat mereka keluar dari kesatuan, semua harus memakai helm. Tentara itu harus punya SIM, jadi saat kebetulan ditilang mereka bisa menunjukkan SIM resmi mereka, tidak hanya sekadar bilang "saya anggota". Saya juga sedang menggalakkan program supaya orangtua yang ada di kesatuan saya melarang anaknya yang masih di bawah umur untuk mengendarai motor sendiri.

Saya yakin bahwa permasalahan-permaslahan yang terjadi di masyarakat itu juga merupakan salah satu imbas dari orangtua yang lupa memberikan pendidikan kepada anak-anaknya di rumah. Lupa memberi tahu bahwa kamu itu adalah seorang anak, harus bisa bersikap sopan kepada yang lebih tua, lupa juga mengajarkan dan menanamkan kepada anak-anaknya bahwa ada aturan-aturan tidak tertulis yang wajib mereka taat saat bermasyarakat, seperti mengantre, misalnya.

Nah, rasanya kok harus sudah ada yang lebih mengurusi hal tersebut, ya. Terlebih jika dikaitkan dengan bonus demografi yang akan dimiliki oleh Indonesia pada tahun 2020 nanti, akan banyak anak muda di negara ini. Saya concern sekali saat melihat anak-anak kecil tidak bisa sopan terhadap orangtuanya, gaya berbicaranya juga seenaknya. Oleh karena itu, kemarin dalam rangka memperingati Hari Pahlawan saya mengadakan lomba mewarnai dan mengarang hari pahlawan untuk 15 sekolah. Ke depannya juga saya ingin bekerja sama dengan Kemendikbud supaya banyak sekolah yang melakukan kunjungan belajar ke Batalion ini. Nanti di sini mereka akan diajarkan bagaimana cara disiplin yang baik, mengenai tata krama terhadap orangtua dan bagaimana mencintai alam.

Jika diberikan kesempatan untuk menemui sosok Gogor Aditya saat masih berusia 20 tahun, apa yang akan Anda katakan kepadanya?
20 tahun itu saya masih di Akademi Militer. Saya akan bilang hal yang sama yang dulu pernah dinasihatkan oleh bapak saya kepada saya. Masalah idealisme. Beliau pernah berkata, jangan terlalu membawa idealismemu itu kalau kamu tidak terlalu kuat. Kenapa saya akan mengatakan hal tersebut, karena saya merasa terlambat menyadari seberapa kuat idealisme saya.

Saat masih Letnan Dua saya masih menggebu-gebu melawan, padahal itu justru merugikan. Saya harusnya bisa lebih fleksibel. Bapak sudah menasihati bahwa saya harusnya bisa menyusun semuanya dengan lebih baik.

Beliau mengibaratkan dengan jika saya melakukan perjalanan membawa beban sebesar 100 kilogram menempuh 100 kilometer. Kalau memang kuat membawa beban sebanyak itu sampai akhir, ya silakan saja. Tapi kalau merasa di jarak berapa kilometer harus mengurangi jumlah beban tersebut, sebaiknya saya mengurangi beban itu dari awal. Saya seharusnya bisa mengukur seberapa kuat barang yang akan saya bawa dari awal sampai akhir tanpa mengubah jumlahnya, sehingga saya tidak akan rugi membuang tenaga berlebih di awal.

Seorang Gogor Aditya dalam tiga kata?
Gogor Aditya itu tegas, lalu saya ramah, dan saya juga tulus. Tidak pernah saya tidak tulus terhadap orang. Maksudnya saya tidak penah punya niat macam-macam terhadap orang lain.

Link: Qerja.com

Baca Juga:

No comments:

Post a Comment